Daftar Isi
Perjuangan
Bayangan Dosa
Ruang rapat jurusan sore itu terasa sesak. Udara dingin dari pendingin ruangan seakan tidak mampu meredam panas yang membakar dada Daniel. Suara-suara dosen lain terdengar sayup, namun satu berita membuat jantungnya berhenti berdetak sejenak.
“Anak itu bunuh diri karena Pinjol. Orang tuanya bahkan harus datang mengambil jasadnya di rumah sakit dengan wajah penuh duka.”
Ruangan mendadak sunyi. Tak ada yang menambahkan komentar. Hanya desahan nafas berat dan tatapan kosong, seolah kabar itu menancap di hati semua orang.
Ketua jurusan berdeham, berusaha mengalihkan suasana. Lalu matanya menatap ke arah Daniel.
“Pak Daniel, bagaimana dengan mahasiswi bimbingan Anda, Indah? Sudah hampir batas DO, kan?” Tanya ketua Jurusan dengan tatapan agak serius ke Arah Daniel.
“Iya pak, saya juga belum mendapatkan kabar” Daniel setengah sesak menjawab
“Kami tahu ini bukan sepenuhnya kesalahan Anda, tapi kalau ada kesempatan, mohon dinasihati. Sayang kalau anak itu sampai terbuang, apalagi kasus di fakultas sebelah itu kadang membuat merinding.”
Kalimat itu seperti palu yang menghantam kepala Daniel. Nama itu. Indah.
Sejenak Daniel kehilangan fokus. Matanya menunduk, tangannya mengepal di atas meja. Bayangan wajah Indah muncul begitu jelas: wajah hancur, air mata yang jatuh tanpa henti, dan—tamparan itu. Tamparan terakhir di kamar hotel malam itu, sebelum Indah pergi dengan kata-kata yang menusuk jantungnya.
“Aku benci kamu, Pak. Kamu hancurkan aku, lalu tinggalkan begitu saja.”
Daniel menutup mata, menahan napas. Kata-kata itu seperti gema yang tak pernah hilang, kini kembali menghantui.
“Pak Daniel?” suara rekan dosen membuyarkan lamunannya.
Ia tersenyum kaku, memaksakan diri menjawab, “Ya, nanti saya coba hubungi dia. Terima kasih sudah mengingatkan.”
Namun di dalam hati, Daniel tahu ia sudah kehilangan Indah. Sudah setahun ia tak mendengar kabarnya. Nomornya tak aktif, pesan-pesannya tak pernah terbaca. Bahkan di media sosial, jejaknya lenyap begitu saja.
Sepulang rapat, Daniel duduk di ruang kerjanya yang sepi. Tumpukan berkas skripsi tak lagi berarti. Yang terus menggerogoti pikirannya hanyalah satu hal:
Apakah Indah baik-baik saja? Atau… apakah ia akan berakhir seperti mahasiswi yang bunuh diri itu?
Tangannya gemetar. Untuk pertama kalinya, Daniel merasa ketakutan bukan karena karier, bukan karena nama baik, melainkan karena bayangan seorang mahasiswi yang dulu pernah ia sakiti.
Hilang Tanpa Jejak
Sejak rapat itu, Daniel tidak bisa tenang. Malam-malamnya gelisah, siang hari pikirannya melayang. Bayangan Indah menempel erat seperti bayangan dosa yang tak mau pergi.
Ia mencoba langkah pertama: membuka WhatsApp lama yang sudah lama tak ada notifikasi. Ia menuliskan pesan pendek, penuh hati-hati.
“Indah, bagaimana kabarnya? Boleh kita bicara sebentar?”
Pesan terkirim, tetapi tak pernah centang dua. Ia menunggu sehari, dua hari, seminggu. Nomor itu tetap sunyi.
Tak menyerah, Daniel mencoba Instagram. Dulu, Indah sering mengunggah foto sederhana: bunga di pinggir jalan, buku catatan penuh coretan, atau sekadar langit senja. Namun kini… akun itu hilang. Tak ada lagi. Seperti terhapus dari dunia.
Keresahan mendorong Daniel lebih jauh. Ia menelusuri teman-teman satu angkatan Indah. Beberapa menjawab singkat, sebagian besar hanya menggelengkan kepala. Hingga akhirnya, ia menemukan satu petunjuk dari seorang teman kos lama.
“Pak, Indah sudah pergi setahun lalu. Katanya mau kerja. Kami juga nggak tahu ke mana. Waktu itu dia cuma pamit singkat, nggak ninggalin alamat.”
Daniel tercekat. “Pergi ke mana?”
Teman kos itu hanya mengangkat bahu. “Entah, Pak. Setelah itu, nggak pernah ada kabarnya.”
Malamnya, Daniel duduk di ruang kerjanya yang remang. Tumpukan buku-buku akademik tak lagi berarti. Ia menatap kosong ke arah jendela, hujan mengguyur deras di luar.
Setiap tetes hujan terasa seperti mengetuk pintu hatinya. Ia teringat lagi pada wajah Indah malam itu: mata penuh air mata, bibir bergetar menahan kata-kata, dan tatapan yang penuh luka.
“Aku benci kamu, Pak. Kamu hancurkan aku…”
Suara itu terus terngiang, membuat dadanya sesak. Daniel menutup wajahnya dengan kedua tangan. Untuk pertama kalinya, ia sadar: Indah bukan sekadar mahasiswi bimbingannya. Ia adalah luka terbesar sekaligus… satu-satunya yang membuat hidupnya kini terasa hampa.
Dan lebih menakutkan dari apa pun adalah kenyataan bahwa Indah benar-benar menghilang tanpa jejak.
Perjalanan Pencarian
Hari-hari berikutnya menjadi siksaan. Daniel mencoba menenggelamkan diri dalam rutinitas: mengajar, memeriksa skripsi, menghadiri rapat. Namun setiap kali ia membuka laptop atau berdiri di depan kelas, satu nama terus bergema di kepalanya: Indah.
Rasa bersalah berubah menjadi dorongan. Malam-malam panjang ia habiskan mencari kabar. Ia mendatangi kos lama Indah, tapi pemilik kos hanya menggeleng. “Sudah lama pergi, Pak. Tak ada kabar.”
Ia mencoba ke perpustakaan, berharap menemukan jejak, tapi nihil. Bahkan ke kantin kampus, menanyai penjaga yang dulu akrab dengan mahasiswa. Semua sama: kosong.
Akhirnya, dengan hati berat, Daniel mencoba jalur yang lebih gelap. Ia mulai menyusuri warung kopi kecil di sekitar kampus, berbincang dengan mahasiswa yang sering nongkrong malam, bertanya apakah ada yang tahu kabar seorang mahasiswi bernama Indah.
Beberapa hanya menggeleng, ada yang menjawab asal. Namun suatu malam, di sebuah kedai remang dekat terminal, seorang lelaki berbisik pelan.
“Pak, kalau nggak salah, saya pernah dengar nama Hasna di salah satu club. Wajahnya mirip dengan yang Bapak sebut, cuma namanya beda.”
Daniel tertegun. Hasna. Nama yang asing, tapi getarannya begitu dekat.
Ia menunggu hingga lelaki itu pergi, lalu duduk sendiri menatap gelas kopi yang sudah dingin. Hatinya bergolak.
Indah? Di club malam? Tidak mungkin… atau justru itulah kenyataannya?
Malam berikutnya, dengan langkah berat, Daniel memutuskan untuk menelusuri informasi itu. Ia bukan pria yang terbiasa dengan dunia malam. Sepanjang hidupnya hanya dihabiskan di kampus, ruang dosen, rumah sederhana, dan masjid dekat perumahan. Namun malam itu, ia berdiri di depan sebuah gedung dengan lampu neon berwarna ungu yang berkelip-kelip. Musik berdentum dari dalam, membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
“Selamat malam, Pak. Mau masuk?” sapa seorang penjaga di pintu, senyum sinis terpasang di wajahnya.
Daniel hanya mengangguk, meski kakinya terasa berat. Ia melangkah masuk. Dunia asing itu menelannya bulat-bulat—bau alkohol menusuk hidung, cahaya lampu menari-nari, dan suara tawa perempuan bercampur dentuman musik yang memekakkan telinga.
Di sana, untuk pertama kalinya, ia melihat panggung kecil di tengah ruangan. Dan di atasnya, seorang perempuan menari perlahan, tubuhnya dibalut pakaian yang lebih layak disebut pakaian dalam dibandingkan pakaian, tapi hal justru membuat penonton bersorak.
Daniel terpaku. Dari kejauhan, ia melihat wajah itu. Wajah yang tidak asing. Wajah yang pernah ia lihat menangis, marah, dan menamparnya.
Indah.