Daftar Isi
Turun dari Puncak
Keputusan itu datang setelah malam-malam panjang di asrama pegunungan. Ahdan sudah mencoba melupakan, sudah berusaha keras menenggelamkan dirinya dalam rutinitas disiplin dan pelajaran berat. Tapi tetap saja, bayangan Lia hadir di setiap jeda, di setiap tarikan napas.
“Kalau gravitasi ini memang tidak bisa kulawan,” batinnya lirih, “biarlah aku jatuh sepenuhnya.”
Maka ia mengambil keputusan besar: pindah sekolah. Dari asrama unggulan yang dipuji banyak orang, ke SMA kota—sekolah yang sama dengan Lia.
Kabar itu cepat menyebar, dan bisik-bisik pun bermunculan.
“Sayang sekali, anak pintar buang kesempatan.”
“Ngapain ninggalin sekolah bagus cuma buat pindah ke sekolah biasa?”
“Bodoh, masa depan kok digadaikan begitu saja.”
Mereka yang berkomentar begitu adalah orang-orang yang tidak tahu apa-apa. Mereka hanya melihat langkah Ahdan sebagai penurunan, tanpa memahami alasan yang sebenarnya.
Namun, ada pula suara berbeda—datang dari orang-orang lama yang mengenalnya sejak SMP. Mereka tahu cerita Ahdan dan Lia. Mereka tahu betapa keras perjuangan Ahdan dulu.
Seorang teman lama menepuk bahunya. “Aku nggak kaget kamu pindah ke sini, Dan. Dari dulu aku tahu kamu nggak main-main sama perasaanmu. Butuh keberanian besar untuk ngambil langkah kayak gini.”
Pujian itu tak membuat Ahdan bangga, begitu pula cemooh tak membuatnya goyah. Ia sudah mantap.
Dan hari itu, di koridor sekolah barunya, Ahdan kembali melihat sosok yang membuatnya meninggalkan segalanya. Lia. Rambutnya kini sedikit lebih panjang, langkahnya tetap anggun, senyumnya tetap sama—senyum yang dulu menjauh, kini kembali nyata di depan matanya.
Ahdan menarik napas panjang, dadanya bergetar.
“Entah aku akan jatuh lebih dalam, atau hancur lebih parah… biarlah. Aku sudah memilih. Karena rasa ini, aku rela.”
Pertemuan Kembali
Lorong SMA kota itu penuh dengan keramaian siswa baru. Ahdan melangkah perlahan, dadanya berdegup, matanya menelusuri kerumunan. Enam bulan terakhir ia habiskan di asrama pegunungan, berusaha melupakan, berusaha berlari. Tapi setiap malam, wajah yang sama selalu hadir dalam mimpinya.
Dan kini, di ujung lorong itu, wajah itu kembali nyata.
Lia.
Rambutnya sedikit lebih panjang dari terakhir kali Ahdan melihatnya, matanya tetap jernih, dan senyumnya—senyum yang pernah membuat waktu berhenti—masih sama, meski kini hanya samar.
Langkah Ahdan mendadak terasa berat. Tapi ia tetap maju, menelan gugup yang menyesakkan dadanya.
“Lia…” panggilnya pelan.
Lia menoleh. Tatapan mereka bertemu sepersekian detik.
Namun yang Ahdan dapatkan bukanlah senyum hangat. Lia tampak kaku, alisnya sedikit berkerut. Ada rasa tidak nyaman jelas tergambar di wajahnya, seperti dulu ketika SMP. Sekejap kemudian, Lia memalingkan wajah, kembali pada temannya, seolah Ahdan hanya bayangan yang lewat.
Bagi orang lain, itu mungkin penghinaan.
Tapi bagi Ahdan—setelah enam bulan hidup dalam suram, tanpa sekali pun melihat sosok itu—pertemuan singkat ini adalah obat paling manis.
Ia menatap punggung Lia yang beranjak pergi, dan senyum tipis merekah di bibirnya.
“Walaupun ia tetap tak menyukaiku… bisa melihatnya lagi adalah anugerah terbesar. Setelah sekian lama gelap, wajah itu adalah cahaya yang paling kurindukan.”
Hati Ahdan kembali bergetar. Sakitnya tetap ada, tapi bersamaan dengan itu, ada kebahagiaan yang tak bisa ia ingkari.
Bab X – 21 September
Tanggal itu sudah lama Ahdan tandai di kalendernya. 21 September — ulang tahun Lia.
Dengan penuh kesungguhan, ia belajar membuat kue. Berkali-kali gagal, berkali-kali gosong, tapi ia tidak menyerah. Baginya, kue itu bukan sekadar adonan manis. Itu adalah wujud nyata dari rasa yang selama ini ia simpan dalam diam.
Dan pagi itu, dengan hati berdebar, ia datang ke sekolah membawa kotak sederhana.
Saat jam istirahat, Ahdan memberanikan diri menghampiri Lia.
“Selamat ulang tahun, Lia. Ini… aku bikin sendiri.”
Sejenak, kelas hening. Semua mata tertuju pada Lia. Namun, bukannya menerima, Lia justru menoleh ke arah lain. Wajahnya kaku, enggan menatap.
Bisikan kecil terdengar dari salah satu temannya. “Eh, jangan-jangan ada guna-guna di dalamnya.”
Beberapa tertawa kecil, suasana jadi canggung.
Ahdan mematung, senyum tipisnya membeku. Ia ingin menjelaskan bahwa itu hanya ucapan selamat ulang tahun, tidak lebih. Tapi suaranya tertahan di tenggorokan.
Akhirnya ia menarik napas panjang, membuka kotak itu, lalu berkata lirih,
“Kalau begitu, ayo kita makan bareng.”
Teman-temannya mendekat, menyendok kue itu bersama. Ahdan ikut tersenyum samar, berpura-pura seolah tidak terjadi apa-apa.
Namun di dalam dirinya, badai bergemuruh.
Sakit.
Lebih sakit dari yang pernah ia bayangkan.
“Kenapa semua usahaku harus ditolak begini? Kenapa setiap ketulusan yang kuberi selalu berakhir jadi beban baginya?”
Tapi meski hatinya hancur, di hadapan Lia ia tidak pernah menunjukkan itu. Tidak ada amarah, tidak ada benci. Yang ada hanya kerelaan.
“Tak apa, Lia. Kalau kau ingin berpaling, berpalinglah. Kalau kau ingin menolak, tolaklah. Aku tetap akan memaafkanmu. Karena bagiku, semua luka ini masih kalah oleh cintaku padamu.”
Dan di sanalah ia berjanji pada dirinya sendiri: ini adalah yang terakhir. Perasaan yang selalu ditolak, selalu disalahpahami, akan ia kubur dalam-dalam. Dunia tidak perlu tahu lagi.
Cukup hari ini, cukup sekali ini.
Setelah 21 September, cinta itu hanya akan hidup di dalam dirinya, tanpa perlu ditunjukkan lagi kepada siapa pun.
Simbol yang Disembunyikan
Ahdan pernah berjanji pada dirinya sendiri, setelah 21 September, ia akan mengubur perasaannya dalam-dalam. Namun kenyataannya, cinta itu tidak pernah benar-benar mati. Ia hanya disembunyikan, dikunci rapat di balik simbol-simbol kecil yang hanya ia sendiri yang mengerti.
Pilot Hi-Tec C, misalnya. Sejak SMP, ia selalu menulis dengan pulpen itu. Bukan karena harganya, bukan pula karena mereknya, tapi karena ia pertama kali jatuh cinta pada tulisan Lia yang indah dengan pulpen yang sama. Hingga SMA, ia masih menyimpannya, seolah setiap garis tinta adalah pengingat bahwa rasa itu pernah ada.
Namun untuk dunia luar, Ahdan mencoba bermain peran. Ia mulai menjalin hubungan dengan seorang teman sekelas. Bukan cinta, lebih kepada cara untuk menutupi luka, cara untuk membuktikan bahwa ia juga bisa berjalan maju.
Lalu kabar itu datang. Lia berpacaran.
Dengan Rafi—pria yang jauh lebih tampan, bergaya lebih keren, populer di sekolah. Bagi banyak orang, Rafi adalah sosok ideal. Bagi Ahdan, kabar itu terasa seperti palu yang menghantam dadanya.
“Tentu saja… dia pantas mendapatkan yang lebih baik dariku.”
Namun anehnya, setelah itu, sikap Lia terhadap Ahdan mulai berubah.
Tidak lagi tatapan dingin. Tidak lagi wajah menghindar.
Beberapa kali, ketika berpapasan di koridor, Lia menoleh sekilas dan menyapa. “Hai, Dan.”
Atau saat di kelas bersama, tatapannya netral, tidak lagi seakan menolak keberadaan Ahdan.
Bagi orang lain, itu mungkin hal biasa. Tapi bagi Ahdan, perubahan kecil itu terasa besar.
Setelah bertahun-tahun menjadi bayangan yang dihindari, kini Lia setidaknya bisa menatapnya tanpa rasa benci.
Namun justru itu yang membuat luka lama kembali berdenyut.
Karena ia tahu, meski ada perubahan, hatinya tetap tak bisa berpaling. Ia masih terikat pada rasa yang sama—rasa yang selama ini ia sembunyikan di balik tinta Hi-Tec C dan bait-bait puisi yang tidak pernah ia berikan.
Suatu kali, seorang teman Lia mengajak Ahdan ikut liburan bersama ke Puncak. Rombongan itu ramai, penuh canda. Lia pun hadir, bersama Rafi yang selalu tampak percaya diri di sisinya.
Ahdan ikut, meski kali itu ia tidak membawa pasangan.
“Kenapa sendirian, Dan?” tanya seorang teman.
Ahdan hanya tersenyum tipis. “Nggak apa-apa, kebetulan sendiri aja.”
Jawaban itu sederhana, tapi hanya dirinya yang tahu alasan sebenarnya. Ia memang punya pasangan, tapi tidak ia ajak. Entah apa alasannya—atau mungkin ia tahu, sekalipun bersama orang lain, matanya hanya akan tetap mencari Lia.
Dan di puncak gunung yang berkabut itu, sambil berpura-pura menikmati tawa rombongan, Ahdan kembali merasakan luka yang ia simpan rapat-rapat. Cinta yang ia sembunyikan, tetap hadir, tetap mengikat, sekuat gravitasi yang tidak pernah bisa ia lawan.
Bulan Tenggelam
Liburan kelas kali ini jatuh bertepatan dengan momen lebaran. Mereka memilih sebuah pantai sebagai tujuan. Rombongan datang dengan riang, membawa makanan, gitar, dan tenda. Suasana ramai, penuh tawa, seolah tidak ada beban yang dibawa.
Lia pun hadir, bersama pacarnya, Rafi. Dari luar, mereka tampak seperti pasangan sempurna: Rafi dengan gaya santainya, Lia dengan senyum lembut yang menenangkan. Namun Ahdan tahu ada sesuatu yang berbeda.
Ia melihat dari jauh: tatapan yang tak lagi sama, percakapan singkat yang berubah jadi hening, jarak halus yang mulai tercipta di antara mereka. Tidak ada yang sadar, kecuali Ahdan—karena matanya tidak pernah berhenti mengikuti Lia, meski dari balik keramaian.
Malam datang. Angin laut berhembus kencang, membawa aroma asin yang menusuk. Ombak berderu, memantulkan cahaya bulan pucat yang terbelah di permukaan air. Suasana ramai di tenda perlahan memudar, tapi Ahdan memilih menjauh. Ia berjalan ke tepi, duduk sendirian menatap laut hitam yang berkilau.
Ia diam. Matanya kosong, hanya mengikuti gerakan ombak yang datang dan pergi, seakan mencari jawaban. Semua kenangan yang ia kubur berbulan-bulan muncul kembali—hari-hari SMP, tatapan dingin Lia, ulang tahun yang pahit, sampai keputusan untuk pindah sekolah. Semua hadir sekaligus, menyiksa tapi juga hangat.
Tiba-tiba, suara langkah mendekat dari belakang. Ahdan menoleh perlahan—dan terkejut. Lia.
Gadis itu berhenti sesaat, menunduk, lalu tanpa berkata apa-apa duduk di sampingnya. Jarak mereka hanya sejengkal, tapi bagi Ahdan terasa seperti jarak yang tak pernah bisa ditembus selama bertahun-tahun.
Sejenak hening, hanya ombak yang menjadi saksi.
Ahdan menahan napas, jantungnya berdetak kencang. Ini pertama kalinya Lia sendiri yang datang padanya. Tidak dipanggil, tidak dipaksa, tidak lewat tatapan singkat yang terpaksa. Lia benar-benar hadir, memilih duduk di sisinya.
“Kenapa kamu di sini sendirian?” suara Lia akhirnya terdengar. Lembut, tapi ada nada ragu.
Ahdan menoleh sekilas, lalu kembali menatap laut. “Aku… cuma suka lihat laut di malam hari. Kadang laut lebih jujur daripada manusia.”
Lia menunduk, tangannya meremas jemari sendiri. “Aku nggak tahu kenapa aku ke sini. Tapi aku cuma… merasa harus.”
Hati Ahdan bergetar. Kata-kata itu sederhana, tapi untuknya terasa seperti hadiah paling indah.
Untuk pertama kalinya, Lia sendiri yang mendatangi.
Namun ia tetap menahan diri. Senyumnya hanya samar, tatapannya tetap ke laut.
Karena ia tahu, perasaan itu tetap harus disembunyikan.
Pengakuan
Malam itu laut begitu sunyi. Ombak datang silih berganti, pecah di karang, lalu hilang kembali ke samudra. Bulan menggantung pucat, seakan menjadi satu-satunya saksi bisu.
Lia menatap langit sebentar, lalu memecah keheningan.
“Kita sudah berteman lama, ya. Empat… mungkin lima tahun lebih.”
Ahdan menoleh singkat, lalu tersenyum tipis.
Di dalam hatinya, ia berbisik getir: “Teman itu saling sapa. Kau? Menyapa saja tidak.”
Namun bibirnya berkata lain, diplomatis, penuh tenang.
“Iya, cukup lama. Banyak hal sudah kita lewati.”
Mereka kembali diam. Angin laut menusuk, membawa dingin yang menembus kulit.
Ahdan akhirnya membuka suara. “Dingin, ya…”
Lia menoleh perlahan, menatap wajahnya. “Ahdan… kenapa kamu tidak pernah mengungkapkannya ke aku?”
Kata-kata itu terdengar jelas, menghantam dada Ahdan seperti palu. Hatinya berkecamuk: marah, kecewa, getir. “Bagaimana aku bisa mengungkapkan, kalau setiap langkahku selalu kau jauhi? Kalau setiap ketulusan hanya jadi beban?”
Namun seperti biasa, cinta selalu berhasil menutupi luka itu.
Ia tersenyum tipis. “Apa yang harus diungkapkan, Lia? Bukankah semua sudah kau tahu?”
Lia terdiam. Ombak kembali pecah, lalu reda.
Ahdan melanjutkan, kali ini dengan suara rendah, dalam, penuh wibawa—meski di dalam hatinya terasa seperti ada paku menembus jantungnya.
“Lia… aku tahu, kamu sedang tidak baik-baik saja. Aku tahu kamu dan Rafi bertengkar.”
Lia menunduk, bahunya bergetar, tapi tak menjawab.
Ahdan menarik napas panjang. “Tapi dengar aku. Cinta… tidak selalu harus dibalas. Apalagi saat keadaan rapuh, saat hatimu sedang goyah. Jangan pernah menjadikan orang lain sebagai pelarian. Itu bukan cinta.”
Lia menoleh, matanya basah.
“Kembalilah pada Rafi,” lanjut Ahdan. “Dia pasanganmu. Orang-orang melihat kalian serasi, dan aku pun tahu itu. Kadang… apa yang terlihat di luar, memang benar adanya. Dia jauh lebih pantas untukmu dibanding aku yang hanya bisa berdiri di pinggiran.”
Kalimat itu menusuk dirinya sendiri, seperti pisau yang ia tancapkan ke jantungnya dengan tangannya sendiri. Tapi ia tetap mengucapkannya—demi Lia.
Lia menatapnya lama, lalu mengangguk kecil. “Terima kasih, Dan.”
Tak ada pelukan. Tak ada air mata yang tumpah. Hanya dua pasang mata yang akhirnya saling mengerti.
Setelah itu, Lia kembali. Malam itu juga, ia dan Rafi berbicara di tempat yang jauh dari pandangan Ahdan. Perlahan, mereka berdamai.
Dan itulah terakhir kalinya Ahdan benar-benar menampakkan dirinya di depan Lia. Setelah pantai itu, mereka tetap satu sekolah, tetap berjalan di lorong yang sama, tapi tak pernah lagi saling menatap.
Hingga akhirnya, mereka lulus.
Dan sejak hari itu, Ahdan dan Lia tidak pernah bertemu lagi.
Epilog – Hi-Tec C
Hari kelulusan SMA berakhir seperti halnya masa SMP dulu—tanpa kata perpisahan. Lia tetap berjalan di jalannya bersama Rafi, sementara Ahdan memilih tenggelam dalam diam.
Beberapa minggu setelahnya, Ahdan duduk sendirian di meja belajarnya. Di depannya, sebuah Pilot Hi-Tec C yang sejak SMP selalu setia menemaninya. Ia menatapnya lama, lalu menulis di sebuah lembar buku kosong.
Tulisan tangannya rapi, setiap huruf ditata hati-hati. Persis seperti tulisan Lia di masa SMP dulu—indah, halus, teratur. Ia menyalin gaya itu bukan untuk meniru, tapi untuk menyimpan sepotong keindahan yang pernah membuatnya jatuh cinta.
Pulpen Hi-Tec C itu menjadi simbol. Simbol bahwa cinta pertamanya, meski tidak pernah berbalas, tetap hidup dalam dirinya.
Waktu berjalan. Ahdan masuk kuliah, lalu meniti jalan hidupnya sendiri. Ia akhirnya menikah, membangun keluarga. Tapi setiap kali menulis dengan Hi-Tec C, ia tahu: ada sesuatu yang tidak pernah benar-benar hilang.
Ia tidak pernah betul-betul menjauhi Lia. Ia berteman dengan teman-teman dekat Lia, terutama mereka yang dulu kagum pada keteguhan dan perjuangannya. Kadang, cerita tentang Lia masih sampai ke telinganya, entah dari obrolan singkat atau dari lingkaran pertemanan lama.
Dan hari ini—bertahun-tahun setelah semua berlalu—ia kembali mendengar kabar itu. Bukan langsung dari Lia, tapi lewat sebuah postingan temannya di Facebook. Foto sederhana: Lia tersenyum, terlihat sehat, bahagia, bersama keluarganya.
Ahdan menatap layar lama. Lalu tersenyum tipis, matanya hangat.
“Alhamdulillah… dia sehat. Dia bahagia. Itu saja cukup.”
Tidak ada yang pernah tahu. Tidak ada yang pernah benar-benar mengerti. Cinta yang ia rawat dari SMP, cinta yang ia simpan di balik tinta Hi-Tec C dan bait-bait puisi tanpa nama, tetap hidup sampai hari ini.
Tapi semua itu hanya untuk dirinya sendiri.
Karena sejak awal, cinta ini memang ditakdirkan untuk menjadi kisah yang tersembunyi.
Kasih tak sampai.
Namun dalam diam, cinta itu abadi.