Apa jadinya jika seseorang mencintai dengan segenap jiwa… namun tak pernah dianggap ada?
Ahdan mengenal Lia sejak SMP. Tiga tahun ia berusaha, enam tahun ia bertahan, bahkan setelah dewasa pun, bayangan Lia tetap tinggal dalam dirinya. Cintanya tak pernah diucapkan, hanya hadir dalam bait puisi dan tatapan yang tersembunyi.
Kasih Tak Sampai adalah kisah cinta yang sederhana tapi menyayat. Tentang ketulusan seorang lelaki, tentang luka yang tak pernah ia tunjukkan, dan tentang sebuah rahasia yang hanya ia simpan bersama sebatang pulpen Hi-Tech.
Daftar Isi
Kasih Tak Sampai
Waktu yang Terhenti
Hari pertama masuk SMP selalu penuh riuh. Suara anak-anak baru bertebaran di lorong, ada yang saling kenalan, ada yang masih canggung memeluk buku di dada. Ahdan termasuk yang terakhir, duduk di kursi kelas barunya dengan wajah tenang, meski hatinya berdebar karena suasana asing.
Itu pertama kalinya ia melihatnya.
Seorang gadis dengan rambut hitam sebahu, wajah halus dengan senyum kecil yang anggun, berjalan melewati pintu kelas bersama beberapa teman barunya. Tidak ada yang istimewa bagi orang lain—hanya seorang siswi baru dengan seragam putih biru yang sama—namun bagi Ahdan, waktu serasa berhenti.
Seketika suara gaduh di sekelilingnya lenyap. Ia hanya menatap gadis itu yang lewat sambil menyibakkan rambutnya, langkahnya ringan, tatapannya lurus ke depan.
“Siapa dia?” batinnya bergetar, meski bibirnya bungkam.
Ahdan tidak mengerti apa yang baru saja ia rasakan. Usianya masih belasan awal, baru saja meninggalkan bangku SD. Kata cinta masih terdengar asing, sering ia dengar dari cerita kakaknya atau film di televisi, tapi belum pernah ia pahami. Yang ia tahu hanya satu: sejak melihat gadis itu, ada sesuatu yang berbeda di dadanya.
Hari-hari berikutnya, ia mulai mengenali gadis itu—namanya Lia. Sayangnya, mereka tidak sekelas. Lia ditempatkan di kelas lain, berseberangan dengan kelas Ahdan. Namun, setiap kali bel istirahat berbunyi dan Lia melewati depan kelas, Ahdan merasakan hal yang sama: waktu seolah melambat, suaranya tak terdengar, hanya wajah cantik itu yang ada di pandangannya.
Kadang Lia berjalan sambil bercanda dengan temannya, kadang hanya lewat sambil menunduk membaca buku. Bagi Ahdan, momen sederhana itu sudah cukup membuat hatinya berdebar.
Tapi semua hanya berakhir pada tatapan singkat dari jauh. Lia tidak pernah benar-benar menyadari keberadaannya. Baginya, Ahdan hanyalah satu dari ratusan murid baru yang memenuhi lorong sekolah.
Dan Ahdan pun tak sadar bahwa itulah awal dari sebuah cerita panjang—awal dari perasaan yang kelak akan tumbuh menjadi cinta yang penuh luka.
Rahasia di Balik Kagum
Ketika Ahdan membaca papan pengumuman, matanya berhenti pada sebuah nama. Lia Ramadhani. Dan tepat di bawahnya, tertulis namanya sendiri.
Sejenak ia menghela napas, tak percaya. Tidak ada teriakan, tidak ada loncatan gembira. Hanya sebuah senyum tipis yang tidak bisa ia sembunyikan.
“Satu kelas… dengannya.”
Hanya itu yang terlintas, sederhana, tapi cukup membuat langkahnya ke ruang kelas terasa lebih ringan dari biasanya.
Hari-hari pertama di kelas II, Ahdan makin mengenal sosok Lia. Tidak hanya cantik, tapi ada hal-hal kecil yang menambah kekagumannya setiap hari. Suaranya lembut setiap kali membaca atau menjawab pertanyaan guru, seperti punya irama yang menenangkan. Tulisan tangannya pun rapi, berbaris indah dengan pulpen Hi-Tech yang sering ia bawa. Tanpa sadar, Ahdan pun membeli pulpen yang sama, berharap bisa menulis seindah itu.
Lalu datanglah pelajaran Seni. Di sana, Lia menunjukkan bakat lain yang membuat Ahdan semakin terpesona. Dengan crayon warna-warni, ia membuat lukisan sederhana—sebuah pemandangan matahari terbenam di balik bukit. Namun gradasi warnanya halus, menyatu, membuat gambar itu terasa hidup.
Ahdan tak bisa mengalihkan pandangan. Ia duduk memandang detail demi detail warna yang melebur, lalu secara samar-samar mengalihkan tatapannya pada wajah Lia yang sedang serius menggambar. Wajah itu teduh, sesekali tersenyum kecil ketika warnanya sesuai dengan bayangan di kepala.
“Bagaimana bisa seseorang begitu indah… dalam hal sekecil ini?” batin Ahdan, masih belum mengerti perasaan yang menggelayutinya. Ia hanya tahu, setiap kali mengingat senyuman Lia, ada rasa hangat yang membuatnya betah berlama-lama dalam lamunan.
Sejak itu, Ahdan menemukan caranya sendiri untuk meredam perasaan yang tak bisa ia ungkapkan. Ia menulis. Di balik buku catatannya, ia menorehkan bait-bait sederhana, puisi-puisi cinta yang ia rangkai dari rasa kagum yang semakin besar.
“Ada warna yang tak mampu kulukis,
sebab ia hidup di senyummu.
Ada kata yang tak berani kutulis,
sebab ia tersimpan dalam tatapmu.”
Nama Lia tak pernah ia tulis jelas di sana. Hanya tersirat dalam metafora, tersembunyi dalam kiasan. Tapi Ahdan tahu, setiap kata adalah milik satu orang saja.
Dan tanpa ia sadari, kagum itu perlahan tumbuh menjadi sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang kelak akan ia kenali sebagai cinta.
Rahasia yang Membuat Jarak
Hari-hari di kelas berjalan biasa, namun bagi Ahdan, ada momen kecil yang membuat hidupnya lebih berwarna. Sesekali, Lia menyapanya.
“Dan, kamu sudah kerjain PR Matematika?” tanyanya suatu pagi dengan suara lembut.
Ahdan terdiam sepersekian detik, lalu buru-buru mengangguk. “Sudah… kalau kamu mau, nanti aku tunjukin caranya.”
Atau ketika jam istirahat, Lia lewat di samping mejanya sambil tersenyum kecil. Sapaan sederhana, namun cukup untuk membuat jantung Ahdan berdegup lebih cepat dari biasanya.
Dalam hatinya, ia merasa sedang berada di jalan yang benar. Ada jarak yang kian mengecil, ada harapan samar yang ia genggam erat. Kagum yang dulu samar kini tumbuh menjadi perasaan yang tak lagi bisa ia abaikan.
Namun semuanya berubah pada suatu siang.
Tio, salah satu teman sebangkunya, menemukan buku kecil Ahdan yang tergeletak di bawah meja. Awalnya hanya iseng membuka, tapi matanya membelalak ketika melihat barisan kata di dalamnya. Puisi-puisi.
“Wih, Ahdan ternyata jago bikin puisi ya?” teriak Tio sambil tertawa.
Beberapa teman lain langsung mendekat. Suara riuh memenuhi kelas.
Ahdan yang baru kembali dari toilet terperangah melihat bukunya dibaca ramai-ramai. Ia buru-buru merebutnya, wajahnya memanas. “Hei, jangan sembarangan baca!”
Tapi Tio sudah lebih dulu melontarkan ejekan.
“Gila, Dan… kamu jatuh cinta, ya? Katanya cowok jago berantem, eh ternyata hatinya melankolis juga.”
Tawa teman-temannya pecah. Beberapa bahkan ikut-ikutan menggoda.
Ahdan terdiam. Malu, tapi juga tak bisa membantah. Ia menarik napas panjang.
“Ya… mungkin benar,” ucapnya lirih, hampir tak terdengar. “Seorang pria bisa dengan gagah menaklukkan gunung atau menyeberangi lautan… tapi dia bisa runtuh ketika berhadapan dengan cinta.”
Kalimat itu membuat kelas hening sesaat, sebelum kembali riuh dengan tawa.
Yang membuat dada Ahdan sesak adalah tatapan Lia dari bangkunya. Ia tidak tertawa, tapi wajahnya sulit ditebak—antara terkejut atau tak nyaman. Dan sejak hari itu, sesuatu berubah.
Lia tidak lagi sering menyapanya. Senyum singkat yang dulu ia dapatkan perlahan hilang. Setiap kali Ahdan mencoba mendekat, ada jarak halus yang tak terlihat, tapi jelas terasa.
Entah apa alasannya, Ahdan tak tahu. Tapi yang ia rasakan hanyalah satu:
puisi-puisi itu, yang lahir dari kekaguman tulusnya, justru menjadi dinding tak kasat mata antara dirinya dan Lia.
Nama yang Terucap
Malam itu, Ahdan duduk di teras rumah sambil menatap langit. Angin berhembus pelan, tapi hatinya bergejolak. Setelah semua yang terjadi, setelah rasa kagum yang tak lagi bisa ia sembunyikan, ia akhirnya mulai mengerti: perasaan ini bukan sekadar senang melihat Lia tersenyum, bukan hanya kagum pada suaranya yang lembut atau tulisan tangannya yang indah.
“Jadi… ini cinta?” batinnya bergetar.
Definisinya mungkin masih sederhana, tapi cukup untuk membuatnya sadar bahwa Lia bukan sekadar teman sekelas. Lia adalah seseorang yang selalu membuatnya menunggu hari esok.
Esoknya, di kantin sekolah, Ahdan menceritakan hal itu pada Ani, sahabat dekatnya sejak SD. Ani mendengarkan dengan serius, menatapnya dengan mata yang penuh pengertian.
“Jadi… orang itu Lia?” tanya Ani pelan, seakan memastikan.
Ahdan mengangguk, wajahnya memerah. “Iya. Aku suka sama Lia.”
Ani tersenyum tipis. “Aku sudah menduga. Kamu harus bilang, Dan. Kalau nggak, sampai kapanpun dia nggak akan tahu.”
Ahdan menunduk. “Tapi… kayaknya tanpa aku bilang pun dia sudah tahu.”
Ani menghela napas panjang. Ia tahu Ahdan tidak salah. Bisik-bisik di kelas makin ramai. Setelah puisinya terbongkar, gosip berkembang cepat. Semakin hari, semakin banyak teman yang berbisik-bisik sambil melirik ke arah Lia dan Ahdan.
Dan Lia… Lia seakan berubah.
Kalau dulu ia masih sesekali menyapa atau tersenyum, kini tatapannya datar setiap kali berpapasan. Tidak ada sapaan, bahkan seolah ada keengganan untuk sekadar duduk berdekatan. Dalam beberapa kesempatan, Lia terlihat menghindar.
Di kelas, saat guru membagi kelompok, Lia lebih memilih menjauh. Di koridor, kalau melihat Ahdan, ia segera menoleh ke arah lain. Seperti ada tembok tinggi yang tiba-tiba dibangun di antara mereka.
Ahdan merasakan sakit yang sulit dijelaskan.
“Kenapa? Apa salahku? Hanya karena aku menyukaimu… kau jadi ingin menjauh?”
Ia semakin enggan menyatakan perasaannya. Baginya, tidak perlu lagi mengucapkannya. Semua orang sudah tahu, dan Lia pun sudah pasti mengerti. Yang tersisa hanyalah sikap Lia yang makin dingin, seolah membenci keberadaan Ahdan.
Dan di tengah keramaian kelas, Ahdan duduk di bangkunya, diam, menatap punggung Lia yang tak lagi berbalik. Untuk pertama kalinya, ia merasakan bahwa cinta bukan hanya soal senang dan kagum. Cinta juga bisa berarti luka—luka yang lahir hanya karena perasaan itu ada.
Menjaga dari Jauh
Ada masa ketika Ahdan akhirnya berhenti berharap. Ia sudah cukup membaca tanda-tanda: tatapan dingin, sikap menjauh, dan jarak yang semakin hari semakin lebar. Lia jelas tidak menyukainya. Dan Ahdan, meski hatinya perih, memilih untuk tahu diri.
Namun cinta itu tak serta-merta hilang. Ia masih ada, membara, hanya berganti bentuk.
“Kalau aku tidak bisa memilikinya… biarlah aku tetap mencintainya dengan caraku sendiri.”
Caranya sederhana. Hampir setiap pulang sekolah, Lia naik becak dari depan gerbang menuju rumahnya. Dan Ahdan… akan mengikuti dari belakang. Tidak dekat, tidak mencolok. Hanya berjalan kaki atau naik sepeda, menjaga jarak, memastikan becak yang membawa Lia masuk dengan selamat ke lorong rumahnya.
Tidak ada percakapan, tidak ada sapaan.
Tapi bagi Ahdan, momen itu cukup untuk membuat hatinya tenang.
“Dia sampai rumah dengan selamat… itu saja sudah cukup.”
Hari-hari itu berlangsung lama, hampir menjadi kebiasaan. Namun lama-kelamaan, kebiasaan itu tercium juga. Suatu sore, Lia menoleh ke belakang ketika turun dari becak. Matanya menangkap sosok Ahdan yang berhenti di kejauhan, seolah tak sengaja berada di sana.
Keesokan harinya, ia menegur Ahdan di depan kelas.
“Kamu kenapa sih suka ngikutin aku pulang?” suaranya tegas, matanya tajam. “Kamu pikir aku nggak sadar? Itu nyebelin, Dan. Jangan ganggu aku lagi.”
Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada ejekan teman-teman, lebih pahit daripada tatapan dingin yang pernah Lia berikan.
Ahdan hanya terdiam, menunduk, menahan sesak di dadanya. Ia ingin menjelaskan, ingin berkata bahwa ia hanya ingin memastikan Lia aman. Tapi kata-kata itu terhenti di tenggorokannya.
Pada akhirnya, ia hanya mengangguk kecil, lalu berbalik pergi.
Sejak itu, ia tetap menjalani kebiasaan lamanya… tapi dengan cara berbeda. Jika dulu ia berjalan cukup dekat untuk melihat becak dari ujung jalan, kini ia menjaga jarak jauh-jauh, memastikan Lia tak pernah sadar lagi. Dari balik tikungan, dari ujung jalan yang sepi, ia tetap mengikuti, tetap memastikan Lia masuk rumah dengan selamat.
Hingga hari-hari SMP mereka berakhir, kebiasaan itu terus berlanjut.
Tak ada yang tahu, tak ada yang melihat.
Hanya seorang anak lelaki yang mencintai dalam diam, memilih luka ketimbang kehilangan, dan puas dengan sekadar menjadi bayangan.
Telepon yang Tak Pernah Terjawab
Menjelang akhir masa SMP, Ahdan semakin menyadari satu hal: perasaan yang ia simpan untuk Lia semakin besar, semakin dalam, tapi juga semakin sulit untuk ia ungkapkan. Ia bukan lagi anak kecil yang hanya tahu kagum, ia sudah mengerti bahwa yang ia rasakan adalah cinta—meski cinta yang bertepuk sebelah tangan.
Ada malam-malam ketika ia ingin memberanikan diri. Di meja belajarnya, kertas penuh coretan puisi berserakan, tapi tidak ada satu pun yang sampai ke tangan Lia. Dan malam itu, dengan tangan bergetar, ia nekat mengambil telepon rumahnya. Jantungnya berdegup kencang ketika menekan nomor yang ia dapatkan dari seorang teman.
“Halo, Assalamu’alaikum… benar ini nomor telepon rumah Lia?” suaranya nyaris bergetar.
Di seberang, suara seorang perempuan dewasa menjawab, “Iya, tunggu sebentar, Lia ada.”
Beberapa detik kemudian, suara yang paling ia kenali muncul.
“Halo, ini dengan siapa?”
Sekejap, napas Ahdan membeku. Lidahnya kelu, seperti ada batu besar yang menekan dadanya. Suara lembut itu membuat kepalanya berputar, darahnya berdesir naik ke otak. Ia ingin berkata, ingin menyebut namanya, ingin sekadar bertanya kabar. Tapi tak ada satu kata pun keluar.
“Halo? Ini dengan siapa?” Lia mengulang, nada suaranya terdengar bingung.
Hening.
“Halo? Kalau tidak ada suara, aku tutup ya.”
Klik. Sambungan telepon terputus.
Ahdan menatap gagang telepon di tangannya, wajahnya panas dan matanya mulai basah. Hatinya terasa berat, seolah seluruh dunia menindihnya. Inilah kenyataan: ia tidak pernah benar-benar mampu menyatakan perasaannya.
Malam itu, ia membuat keputusan.
“Kalau aku tidak bisa membuatnya bahagia dengan berada di dekatnya, mungkin aku harus benar-benar pergi. Cinta tidak harus memiliki. Cinta juga bisa berarti melepaskan.”
Setelah lulus SMP, Ahdan memilih sekolah asrama di atas pegunungan. Sekolah unggulan dengan disiplin keras dan pelajaran berat. Semua orang kagum pada pilihannya, mengira itu karena ambisi akademik. Padahal dalam hati, itu adalah caranya lari. Caranya berhenti menjadi bayangan yang selalu Lia hindari. Caranya memenuhi keinginan Lia yang pernah berkata: “Jangan ganggu aku.”
Hari kelulusan akhirnya tiba. Suasana sekolah ramai oleh tawa, tangis, dan perpisahan. Siswa saling menulis pesan di seragam putih yang akan disimpan sebagai kenangan. Ada yang berfoto bersama, ada yang berjanji akan tetap bertemu di masa depan.
Di tengah keramaian itu, Ahdan berdiri sendirian di sudut lapangan. Matanya mencari, berharap sekadar bisa melihat Lia sekali lagi. Hanya sekali saja, tatapan terakhir, senyum terakhir.
Namun sampai acara usai, ia tidak pernah benar-benar mendapatkannya. Lia dikerumuni teman-temannya, sibuk berfoto, tertawa, menandatangani seragam orang lain. Jarak itu terasa begitu jauh, seolah ia hanya seorang asing yang kebetulan berdiri di tempat yang sama.
Tidak ada kata perpisahan. Tidak ada ucapan selamat tinggal.
Yang ada hanya hening yang menggema di dalam dada Ahdan, membuatnya sesak.
“Jadi… semua usahaku berakhir begini. Tanpa suara, tanpa pamit. Seolah aku tak pernah ada dalam ceritanya.”
Ketika semua sudah bubar, Ahdan berjalan pelan keluar dari gerbang sekolah yang selama tiga tahun menjadi saksi cintanya. Ia menyalakan motornya, melaju menyusuri jalanan sore yang lengang. Angin menampar wajahnya, dingin, getir, tapi juga membawa rasa lega aneh yang tak bisa ia jelaskan.
Di perjalanan menuju rumah, ia menatap langit. Awan-awan bergerak perlahan, seakan mengisyaratkan sebuah perjalanan baru. Meski hatinya berat, meski luka itu masih membekas, ia tahu satu hal: masa SMP sudah berakhir.
Dan di depan sana, ada jalan lain yang menunggunya.
Sekolah baru. Hidup baru. Harapan baru.
Ahdan menarik napas panjang, lalu tersenyum samar di balik kepedihan.
Cinta pertamanya memang tak pernah berbalas, tak pernah sempat ia ucapkan, tak pernah mendapat perpisahan. Tapi mungkin di tempat yang baru, ia bisa menemukan arti lain dari dirinya.
Tanpa menoleh lagi, ia memacu motornya lebih kencang, meninggalkan gerbang sekolah dan semua kenangan pahit yang tak pernah terselesaikan.